Thursday, December 26, 2013

Sejarah Dayah Aceh

Dayah berasal dari kata zawiyah, kata ini dalam bahasa Arab mengandung makna sudut, atau pojok Mesjid. Kata zawiyah mula-mula dikenal di Afrika Utara pada masa awal perkembangan Islam, zawiyah yang dimaksud pada masa itu adalah satu pojok Mesjid yang menjadi halaqah para Sufi, mereka biasanya berkumpul bertukar pengalaman, diskusi, berzikir dan bermalam di Mesjid. Dalam khazanah pendidikan Aceh, istilah zawiyah kemudian berubah menjadi Dayah, seperti halnya perubahan istilah Madrasah menjadi Meunasah. Pada era Islam pertama masuk ke Nusantara yaitu masa Kerajaan Pereulak telah dikenal adanya temapat-tempat untuk menekuni dan mendiskusikan ajaran agama, salah satu tempat yang terkenal kala itu adalah Zawiyah Cot Kala, tempat inilah yang merupakan lembaga Pendidikan Agama pertama di Nusantara
Merujuk kepada Sejarah Kerajaan Islam Pereulak, Dayah secara historis telah ada sejak abad IX Masehi, demikian pendapat Tgk Muslim Ibrahim dalam tulisannya masyarakat Yang Adil dan Bermartabat. Keberadaan Dayah di Aceh telah ada bersamaan dengan masuknya Islam ke Aceh pada akhir masa kekhalifahan Usman bin Affan. Beberapa Dayah yang berkembang saat itu diantaranya; Dayah Cot Kala, Dayah Kuta Karang, Dar as-syariah Mesjid Raya, namun semua Dayah ini telah diobrak-abrik Belanda. Pada abad 5 Hijriah, Mesir menemukan kapal buatan Aceh yang terdampar di Laut Tengah. Pada masa Iskandar Muda, sebuah kapal Spanyol rusak di perairan Sabang, kemudian diderek ke pantai dengan gajah dan diperbaiki oleh satri-santri dayah Dar as-syariah.
Menurut Abdul Qadir Djailani dalam bukunya Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, Samudera Pasai merupakan pusat pendidikan Islam pertama di Indonesia dan dari sini berkembang ke berbagai daerah lain di Indonesia, hingga sampai ke Pulau Jawa. Salah seorang santri alumni Samudera Pasai adalah Maulana Malik Ibrahim, ia datang ke Gresik Jawa Timur pada tahun 1399 dan wafat pada tahun 1419, setelah melakukan dakwah selama dua puluh tahun lamanya, sebelumnya, Maulana Malik Ibrahim bertugas sebagai Muballigh di daerah Campa yang merupakan daerah Kesultanan Samudera Pasai, setelah Maulana Malik Ibrahim wafat, Dayah juga diteruskan oleh anak beliau Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Secara pasti tidak diketahui kapan sebenarnya Dayah masuk ke Aceh. Namun, A. Hasyimi seorang Sejarawan Aceh, beliau berpendapat bahwa Dayah masuk ke Aceh sejak awal berdirinya Kerajaan Islam Pereulak pada Muharram 225 H/840 M. Salah satu penyebab sulitnya mengetahui dengan pasti kapan sebenarnya Dayah masuk ke Aceh karena minimnya penelitian dan perhatian yang cukup untuk menggali sejarah perkembangan Dayah, walaupun Anthony Reid dalam bukunya The Rope God, membahas tentang lembaga ini, tetapi hanya dibahas perkembangan pada masa abad ke-19 M dan pertengahan abad ke 20 M. Tidak hanya Anthony Reid, Hasbi Amiruddin dalam bukunya Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, juga membahas tentang Dayah tetapi lebih terfokus pada peranan ulamanya, bukan pada Dayah itu sendiri.
Jika merujuk pada hasil seminar tentang masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara yang dilaksanakan di Rantau Pereulak pada tanggal 25-30 September 1980, mengenai tahun berdirinya Kerajaan Islam Pereulak sebagai Kerajaan Islam tertua, maka Dayah Cot Kala merupakan Dayah pertama di Aceh bahkan di Asia Tenggara. Setelah lahirnya Dayah Cot Kala, maka sesuai dengan tujuan pendirian dayah sendiri, yaitu untuk mencetak kader ulama sebagai petunjuk ummat, maka Dayah Cot Kala kala itu telah melahirkan para sarjananya yang dapat menyebarkan Islam ke seluruh Aceh sehingga lahirlah Dayah-dayah baru seperti Dayah Serele di bawah Pimpinan Tengku Syekh Sirajuddin yang didirikan pada tahun 1012 sampai dengan 1059 M, Dayah Blang Priya yang dipimpin oleh Tengku Ja`kob yang didirikan antara tahun 1155-1233 M, Dayah Batu Karang di Kerajaan Tamiang yang dipimpin oleh Tengku Ampon Tuan, Dayah Lam Keuneuen dari Kerajaan Lamuria Islam di bawah pimpinan Tengku Syekh Abdullah Kan`an yang didirikan antara 1196 sampai dengan 1225 M. Dayah Tanoeh Abee antara Tahun 1823-1836 M dan Dayah Tiro di Kecamatan Tiro Kabupaten Pidie antara tahun 1781-1795 M, dan dayah-dayah lainnya yang tersebar di seluruh Aceh di kala itu. Perkembangan Dayah juga dilakukan pada masa kemunduran Kerajaan Aceh Darussalam (Abad ke 18 dan ke 19 M). Dayah yang dibangun pada masa tersebut adalah Dayah Tgk Syik Kuta Karang, Dayah Lam Birah, Dayah Lamnyong, Dayah Lambhuk, Dayah Krueng Rumpet, mengenai tahun pendirian dayah tersebut belum didapat data yang pasti.
Keberadaan Dayah pada masa perang melawan Belanda mengalami kemunduran, ini karena seluruh Ulama Dayah dan santrinya itu ikut berjuang melawan penjajah Belanda, sebagian besar para Ulama dan Tengku dayah syahid di medan perang, di antaranya Tengku Chik Haji Ismail anak Tengku Chik Pante Ya`kop (Pendiri Dayah Tgk Chik Pante Gelima), beliau syahid dalam peperangan melawan Belanda dalam mempertahankan Kuta Glee (Kawasan Batee Iliek Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen), bersama dengan Tengku Chik Lueng Kebue dan Tengku Syiek Kuta Glee.
Faktor lain yang menghambat perkembangan Dayah saat itu disebabkan karena Belanda melakukan upaya-upaya untuk menghambat pendidikan Agama Islam, serta Belanda menyebarkan pendidikan Barat di Aceh, sehingga menyebabkan Dayah terbengkalai. Selain itu, Belanda melakukan pembakaran terhadap Dayah-dayah dan membunuh seluruh staf pengajarnya serta membumihanguskan seluruh Perpustkaaan yang ada di Dayah, jika ada dayah yang masih bertahan itupun dibangun di daerah terisolir dan jauh dari pantauan Belanda.
Setelah usainya peperangan pada tahun 1904 M, barulah Dayah-dayah yang telah terbengkalai tersebut dibangun dan dibenahi kembali untuk dapat digunakan kembali ssebagai lembaga pendidikan, adapun Dayah yang dibangun kembali setelah perang Aceh usai antara lain, di Aceh Besar: Dayah Tanoeh Abee, Dayah Lambirah oleh Tengku Syik Lambirah, sedangkan adiknya Tengku Haji Ja`far (Tengku Syik Lamjabat) membangun Dayah Jeureula, selanjutnya juga dibenahi Dayah Lamnyong, Dayah Lambhuk, Dayah Ulee Susu, Dayah Indrapuri, Dayah Lamsenouen, Dayah Krueng Kale, Dayah Montasik dan masih banyak lagi Dayah-Dayah yang dibangun di Daerah Aceh Besar. Tidak hanya di kawasan Aceh Besar, Pidie, Aceh Urata, Aceh Barat dan beberapa daerah lainnya di Aceh juga ikut membenahi kembali Dayah yang hancur atau ditinggalkan karena perang kala itu.
Perlu dicatat, saat itu banyak Ulama yang ikut berjuang namun tidak sedikit juga diantara mereka yang mengasingkan diri keluar Aceh, diantaranya ke Negeri Keudah (Malaysia Sekarang). Salah satu tempat penting mereka berkumpul adalah Negeri Yan di Keudah, di sinilah mereka melanjutkan tradisi pendidikan Dayah selama perang Aceh berlangsung, setelah perang reda, mereka yang tadinya mengasingkan diri segera pulang untuk kembali melanjutkan dan membangun kembali sistem pendidikan Dayah yang telah mengalami kemunduran pada saat perang berkecamuk, di samping tokoh Ulama yang pulang dari negeri Yan, ada juga yang langsung pulang dari Mekkah, seperti Tengku Haji Muhmmad Thahir Cot Plieng, bahkan beliau pernah bertemu dengan Snouck Hogrounje saat sama-sama berada di Mekkah.
Setelah perang usai Dayah mengalami perkembangan, walaupun perkembangan yang terjadi pada waktu itu tidak begitu berarti, karena pada saat itu para Ulama Dayah disibukkan dengan perlawanan melawan Jepang, serta kebijakan Jepang saat itu menerapkan kerja paksa serta mengabaikan sisi-sisi lain dalam kehidupan masyarakat, termasuk pendidikan di dalamnya. Beberapa hal tersebut membuat Dayah dalam kurun waktu 3,5 Tahun masih jalan di tempat.
Pada masa kemerdekaan mulai tahun 1945 M, perkembangan Dayah sudah menampakkan hasil yang cukup baik, ini dapat dilihat dari perkembangan Dayah Darusslamam Labuhan Haji Acah Selatan, Dayah MUDI MESRA Samalanga, Dayah BUDI Lamno, dan Dayah dayah yang lain. Tidak hanya Dayah, Sekolah pun mulai berkembangan, sekolah bersifat Negeri dengan dukungan dan bantuan dari pemerintah sedangkah Dayah umumnya bersifat pribadi yang dikelola oleh Pimpinan Dayah sendiri dengan bentuan swadaya masyarakat.
(Disarikan dari berbagai sumber)

Warisan Daud Beureueh yang Terlantar //

Sudah banyak orang bercerita tentang daya magis kepemimpinan Daud Beureueh. Tokoh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) itu tak hanya dikenal sepak terjangnya memimpin perang gerilya dan berpidato menyihir massa, tetapi juga tak segan-segan mengayun cangkul dan bergelimang lumpur bersama rakyatnya. 

Salah satu kisah yang abadi adalah apa yang terjadi di Desa Paya Raof, Pidie, 14 Juli 1963. Saat itu, Daud Beureueh yang sudah turun gunung, memimpin kerja bakti yang melibatkan 2.000 orang untuk membuat saluran irigasi. Rakyat yang kecewa karena bupati setempat tak kunjung menyelesaikan masalah pengairan sawah, mendatangi Daud Beureueh. Di tangan ulama itu, masalah pun terpecahkan.

Desa Paya Raof terletak 10 kilometer dari tepi jalan lintas Banda Aceh - Medan. Saat acehkita menelusuri kembali saluran irigasi sepanjang 17 kilometer itu, banyak orang tak lagi mengenalnya. Ditambah lagi letaknya yang memang jauh, yakni di bawah kaki gunung Cot Kuta. Apalagi kondisi keamanan yang tak menentu, cukup sudah alasan bagi orang untuk semakin melupakannya.

Satu-satunya cara mengembalikan ingatan warga Pidie akan Desa Paya Raof, Kecamatan Teupin Raya, adalah saluran irigasi tua yang dibangun Teungku Daud Beureueh. Irigasi yang dikelilingi bukit dan hutan itu kini dalam kondisi tak berfungsi dengan baik. Menurut petani setempat, air yang mengalir pun tak lagi sebanyak dulu.

Dulu, saluran irigasi itu bisa mengairi sawah di tujuh desa seperti Tunong, Baroh, Amud, Amud Masjid, Tanah Mirah, Geumuroh, dan Teupin Raya. Tak heran, sebab kondisinya selalu dipelihara dan telah beberapa kali mengalami sentuhan renovasi. Ada empat orang tokoh setempat yang menyokong ayunan cangkul Daud Beureueh. Mereka adalah Teungku Raof, Imuem Leman, Alamsyah, dan Cut Ka Oy.

Saluran irigasi itu bermula dari sepetak dam air yang terbuat dari tanah. Saat Daud Beureueh hendak membedahnya menjadi saluran air, tanpa dipaksa warga masyarakat datang berbondong-bondong membantu. Dari orang tua hingga yang muda, semua tumpah ruah di lokasi tersebut. Bahkan, tak jarang Daud Beureueh terpaksa mengusir pulang anak-anak yang terlalu muda usia untuk bekerja.

"Waktu itu saya tidak dikasih ikut gotong royong oleh Abu karena usia saya masih muda. Saya diusir dengan dipukul pakai tongkatnya," kenang Syakhwat sambil tersenyum. Kini usianya sudah 58 tahun. Dia adalah warga Desa Cot Tunong, Geulumpang Tiga, Pidie.

Abu Beureueh sendiri bukan sarjana teknik sipil. Karena itu, menurut Syakhwat, saat itu ada seorang insinyur dan para tukang terampil yang didatangkan khusus dari Sigli. "Kontraktor dan tukangnya semua dari Sigli," kata Syahkwat.

Sementara bahan bangunan seperti semen didatangkan dari Medan dan Banda Aceh dengan truk. Beberapa hari sekali, kenang Syahkwat kecil, dia melihat truk tersebut singgah untuk membongkar muatan. Menurut Nur El Ibrahimy yang juga menantu Daud Beureueh, proyek tersebut sepeserpun tak menggunakan dana pemerintah. Konon dana yang dihabiskan mencapai Rp 100 juta di masa itu.

Di bawah pengawasan langsung Abu Beureueh, masyarakat dan para tukang yang membangun irigasi, bekerja bergantian siang dan malam. Sedangkan untuk tempat tinggal bagi mereka yang bekerja, dibangunlah semacam rumah sementara yang terbuat dari bambu, bak gubuk-gubuk semasa Daud Beureueh masih bergerilya.

Ruhama Daud (65), anak ketujuh Daud Beureueh yang ditemui acehkita di Beureunuen, Pidie, mengakui bahwa semasa pembuatan irigasi tersebut, sang ayah sama sekali tak pernah pulang ke rumah. Abu Beureueh tinggal di lokasi irigasi tersebut bersama warga masyarakat dan para tukang yang dipimpinnya. Ruhama yang saat itu masih remaja harus datang ke sana bila ingin bertemu sang ayah.

"Waktu buat irigasi di gunung sana, Abu memang tidak pulang," katanya.

Padahal, irigasi itu dibangun dari 14 Juli sampai 18 Agustus 1963. Setelah itu, proses perampungannya membutuhkan waktu sekitar dua tahun. Menurut Ruhama hal tersebut disebabkan karena minimnya bahan-bahan bangunan yang tersedia. Hal itu juga yang diyakininya menyebabkan pondasi awal irigasi yang dibuat oleh sang ayah, tak terlalu bertahan lama. Bagian pondasi yang dibuat Abu Beureueh akhirnya memang jebol tak lama setelah digunakan. Namun setelah direnovasi, irigasi pun dapat digunakan kembali.

Kini, sudah enam tahun saluran irigasi selebar 2,5 meter dan dalam 1,5 meter itu tak lagi mampu mengairi sawah masyarakat secara optimal. Selain karena debit air yang sedikit, selurannya pun sudah banyak yang tersumbat. Dan tak ada satu lembaga pun yang mau mengelolanya. Apalagi pemerintah.

Saat acehkita menjenguknya, pertengahan Juli lalu, bagian gorong-gorong memang terlihat sedang diperbaiki. Tapi anehnya, tak seorang pun pekerja di sana. Menurut warga, pekerjaan itu sudah berlangsung lama. Namun hingga kini belum mencapai sepuluh persen dari penyelesaian. Sehingga banyak warga yang terpaksa harus main kucing-kucingan dengan warga yang lain supaya bisa lebih cepat mematok air untuk mengairi sawah masing-masing.

"Waktu zaman Abu kami tidak begini. Air banyak, tidak sampai rebutan. Kini orang-orang main patok saja ambil airnya, makanya banyak yang berkelahi karena tidak kebagian air," tutur Syahkwat menutup cerita.


Ditakuti Hingga Ajal Menjelang 


Setelah 43 tahun Daud Beureueh turun gunung, tak banyak lagi pejuang DI/TII yang bisa ditemui. Dari sedikit itu, tercatat nama seorang mantan Guru Besar IAIN Ar-Raniry, Prof Dr Baihaqi AK. Ia bukan saja pengikut setia Abu Beureueh, tetapi juga sekretaris pribadinya. Saat Beureueh dijemput dari persembunyiannya pada 9 Mei 1962, Baihaqi ikut dalam rombongan itu.


Semasa pergolakan terjadi, Baihaqi yang saat itu berusia 18 tahun, sebenarnya baru saja menyelesaikan pendidikan guru di Bandung. Pada 1954, ia diangkat menjadi pegawai negeri sipil dan bertugas sebagai guru di Banda Aceh. Simpatinya dengan perjuangan DI/TII muncul setelah melihat kebijakan pemerintah pusat. Dalam beberapa aksi protes di Banda Aceh, Baihaqi kerap terlibat.

Tak disangka, suatu malam ia ditangkap polisi dan diseret ke pengadilan. "Saya divonis 30 bulan penjara dengan tuduhan subversif," kenangnya.

Setelah bebas, tadinya Baihaqi ingin hidup tenang. Nyatanya, dia mengaku selalu diintai petugas. Karena kesal, ia memutuskan lari ke hutan, bergabung dengan pasukan Daud Beureueh. Dari semua pengikut DI/TII kala itu, Baihaqi tergolong paling muda.

Sebagai anak desa yang dibesarkan di Keunawat, Aceh Tengah, Baihaqi sangat menguasai seluk beluk hutan di Aceh Tengah, tempat pasukan DI/TII bersembunyi. Dia merasa tentram di lingkungan itu, apalagi dalam jajaran pengikut Daud Beureueh, ada Teungku Ilyas Leube, abang sepupunya.

Bersama Iyas Leube, Baihaqi ditempatkan sebagai anggota pasukan Resimen 5. Semula hanya prajurit biasa, tapi berkat kecerdasannya, ia dipercaya sebagai kepala staf. Sementara Ilyas Leube sebagai panglima.

Selama di hutan, Baihaqi banyak belajar tentang kepemimpinan Daud Beureueh. Ia kerap mengamati gerak-gerik Beureueh, mulai cara dia mandi, berpakaian, hingga shalat. "Jarang saya temukan ada pemimpin seperti Abu Beureueh," katanya.

Yang paling dikagumi Baihaqi adalah shalat Beureueh yang amat khusuk. Sebagai pemimpin, Daud Beureueh sama sekali tak pernah memegang uang. Meski demikian, ia sangat ketat mengawasi pengeluaran uang.

"Kami pernah tidur sebantal di dalam pondak setelah lelah berdiskusi," cerita mantan anggota DPR RI dari Fraksi PPP itu. Saat makan pun, Beureueh hanya menggunakan daun pisang sebagai piring. Lalu ia mengajak pengikutnya makan bersama di daun itu.


Ketika mengetahui banyak pengikutnya berdamai dengan Pemerintah Indonesia, Daud Beureueh hanya mencibir. Ia menyesali sikap anak buahnya yang dianggap berkhianat karena tertarik harta yang dijanjikan pemerintah.

Namun sikap keras Beureueh berubah juga. Baihaqi termasuk pengikut Daud Beureueh yang turun gunung paling akhir. Setelah berdamai dengan pemerintah, Baihaqi kembali ditawarkan menjadi guru. Namun ia menolak. "Saya memilih melanjutkan pendidikan S-1 di IAIN Ar-Raniry," katanya. Setelah memperoleh sarjana, Baihaqi pun diangkat sebagai dosen di kampus itu. Sampai akhirnya sukses meraih gelar profesor bidang pendidikan Islam.

Usai pemberontakan DI/TII, Baihaqi sempat diajak Hasan Tiro bergabung dalam GAM. Apalagi abang sepupunya, Ilyas Leube, ikut dalam kelompok itu. Tapi ia menolak. Baihaqi memilih berkarir di bidang politik sebagai politisi PPP dan duduk sebagai anggota DPR pada periode 1999-2004. Kini, memasuki usia 74, ayah empat anak ini menetap di sebuah rumah asri di Pamulang, Banten. Ia memiliki ruangan khusus berisi koleksi buku-buku tua. Di ruang itulah dia menghabiskan waktu.

"Saya juga tengah menulis buku tentang sejarah Aceh," ujarnya. Dalam sejarah bukunya itu, ia memaparkan banyak hal tentang Daud Beureueh. Baginya, sosok ulama Aceh itu tidak akan mungkin dilupakan. Dalam setiap shalat, Baihaqi selalu mengirim doa untuk Daud Beureueh. Selain sebagai pemimpin, baginya, Daud Beureh juga sebagai guru dan seorang ayah.


Ditakuti Hingga Ajal Menjemput

Beureunuen berjarak 124 kilometer arah timur Kota Banda Aceh. Di tempat ini, tak ada yang tak kenal Daud Beurueueh. Kini sudah 18 tahun Abu Beureueh meninggal dunia. Atas permintaannya sendiri, jasadnya pun disemayamkan di areal pekarangan masjid A’la Lil Mujahiddin, atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Masjid Abu Beureueh, yang terletak di tepi jalan Banda Aceh-Medan.

Dahulu, ketika mendengar Abu Beureueh meninggal dunia, mereka berduyun-duyun ke masjid itu untuk melihat pemakaman Daud Beureueh dan memberikan penghormatan terakhir.

Seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan kondisi di Aceh, perlahan nama besar Daud Beureueh seakan tenggelam. Bila di awal-awal wafatnya, warga datang untuk menziarahi makam hampir dari seluruh pelosok Aceh, namun kini, para penziarah hanyalah orang-orang tertentu saja. Itu pun mereka yang singgah karena waktu shalat atau yang sedang dalam perjalanan.

"Sekarang sudah lain. Dari orang, hingga cara shalat semua sudah beda. Apalagi orang muda sudah sibuk sendiri. Mana ingat lagi ke kita yang tua," sebut Azhari, 70 tahun, ulama asal Desa Tiba.

Kini, makam berukuran 3 x 1 meter yang bernisankan marmer dan berukir nama almarhum itu seakan sepi sendiri.

"Masih ada satu dua yang datang ziarah ke sini. Kemarin juga ada pejabat yang datang, tapi itu sangat jarang sekali," ucap Zulkifli (36), warga Desa Baroh Barat Yaman.

Menurut Zulkifli yang datang dari generasi baru—belum lahir saat DI/TII—Daud Beureueh adalah tokoh yang disegani dan disayangi masyarakat. Namun yang disesalkannya, perhatian pemerintah terhadap makam tokoh tersebut sangat kecil.

"Saya harap pemerintah mau lebih memperhatikan makam ini, sesuai dengan jasa beliau kepada negara," tandasnya.
Pada usia 89 tahun, Abu Beureueh menghadap sang Khalik. Tepatnya pada 10 Juni 1987 di sebuah bilik sederhana di tanah kelahirannya, Desa Beureueh, Beureuneun, Kecamatan Mutiara (sekarang Mutiara Barat), Pidie. Sebelum meninggal, kondisi kesehatannya terus menurun sejak kembali ke Aceh 1982.

Melihat kondisinya fisik yang sudah renta inilah, pemerintah Orde Baru menganggap Abu Beureueh tak mungkin lagi melanjutkan perlawanan atau mendukung Gerakan Aceh Merdeka. Sebelumnya, kendati sudah menyerah dan turun gunung, ABRI masih menganggap Beureueh sebagai tokoh yang berbahaya. Karena itu, pada 1 Mei 1978, sebuah tim yang dipimpin Sjafrie Sjamsoeddin—kini Sekjen Departemen Pertahanan—menciduk Abu Beureueh di depan istrinya, Teungku Nyak Alisah, untuk dibawa ke Jakarta.

Proses pengambilan Abu Beureueh ditingkahi dengan upaya menyuntikkan obat bius yang mendapat perlawanan dan melukai badan tuanya. Menurut menantu Abu Beureueh, M Nur El Ibrahimy, tindakan pemerintah tersebut dianggap berlebihan.

Selama di Jakarta, Abu Beureueh tinggal di sebuah rumah kontrakan atas biaya pemerintah. Namun menurut El Ibrahimy, hal tersebut membuat Abu Beureueh seperti tahanan rumah. "Seperti di sangkar emas. Mata lepas, badan terkurung," kata El Ibrahimy.

Sejak 1980, sudah dua kali Abu Beureueh mengirim surat permohonan kepada Presiden Soeharto agar diperbolehkan kembali ke Aceh. Itu belum termasuk surat kepada Pangkopkamtib, Sudomo. "Setelah keadaan badan yang semakin uzur, sehingga harus dipapah, dan mata yang hampir tidak bisa melihat, Daud Beureueh diizinkan pulang ke Aceh," sesal El Ibrahimy.

Menurut Panglima Kodam Iskandar Muda saat itu, Brigjen Abdurrahman, sesampainya di Aceh pun, Abu Beureueh masih berada di bawah pengawasan Laksusda Aceh. Para intel itu, misalnya, ditempatkan di Beureunuen dan membaur di antara jamaah shalat Jumat. Abu Beureueh pun tak dapat pergi sekehendak hatinya, kecuali dengan seizin atau sepengetahuan petugas Laksusda.

"Ini semua dilakukan, kabarnya untuk menjaga ketentraman dan ketertiban yang telah mantap di daerah Aceh," tandas El Ibrahimy setengah menyindir.

Terbukti, upaya itu tak manjur. Aceh bukannya tambah tenteram. Justru Abu Beureueh lah yang kini menikmati ketentraman di bawah rindangnya pohon mangga. 

Warisan Daud Beureueh yang Terlantar <

Sudah banyak orang bercerita tentang daya magis kepemimpinan Daud Beureueh. Tokoh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) itu tak hanya dikenal sepak terjangnya memimpin perang gerilya dan berpidato menyihir massa, tetapi juga tak segan-segan mengayun cangkul dan bergelimang lumpur bersama rakyatnya. 

Salah satu kisah yang abadi adalah apa yang terjadi di Desa Paya Raof, Pidie, 14 Juli 1963. Saat itu, Daud Beureueh yang sudah turun gunung, memimpin kerja bakti yang melibatkan 2.000 orang untuk membuat saluran irigasi. Rakyat yang kecewa karena bupati setempat tak kunjung menyelesaikan masalah pengairan sawah, mendatangi Daud Beureueh. Di tangan ulama itu, masalah pun terpecahkan.

Desa Paya Raof terletak 10 kilometer dari tepi jalan lintas Banda Aceh - Medan. Saat acehkita menelusuri kembali saluran irigasi sepanjang 17 kilometer itu, banyak orang tak lagi mengenalnya. Ditambah lagi letaknya yang memang jauh, yakni di bawah kaki gunung Cot Kuta. Apalagi kondisi keamanan yang tak menentu, cukup sudah alasan bagi orang untuk semakin melupakannya.

Satu-satunya cara mengembalikan ingatan warga Pidie akan Desa Paya Raof, Kecamatan Teupin Raya, adalah saluran irigasi tua yang dibangun Teungku Daud Beureueh. Irigasi yang dikelilingi bukit dan hutan itu kini dalam kondisi tak berfungsi dengan baik. Menurut petani setempat, air yang mengalir pun tak lagi sebanyak dulu.

Dulu, saluran irigasi itu bisa mengairi sawah di tujuh desa seperti Tunong, Baroh, Amud, Amud Masjid, Tanah Mirah, Geumuroh, dan Teupin Raya. Tak heran, sebab kondisinya selalu dipelihara dan telah beberapa kali mengalami sentuhan renovasi. Ada empat orang tokoh setempat yang menyokong ayunan cangkul Daud Beureueh. Mereka adalah Teungku Raof, Imuem Leman, Alamsyah, dan Cut Ka Oy.

Saluran irigasi itu bermula dari sepetak dam air yang terbuat dari tanah. Saat Daud Beureueh hendak membedahnya menjadi saluran air, tanpa dipaksa warga masyarakat datang berbondong-bondong membantu. Dari orang tua hingga yang muda, semua tumpah ruah di lokasi tersebut. Bahkan, tak jarang Daud Beureueh terpaksa mengusir pulang anak-anak yang terlalu muda usia untuk bekerja.

"Waktu itu saya tidak dikasih ikut gotong royong oleh Abu karena usia saya masih muda. Saya diusir dengan dipukul pakai tongkatnya," kenang Syakhwat sambil tersenyum. Kini usianya sudah 58 tahun. Dia adalah warga Desa Cot Tunong, Geulumpang Tiga, Pidie.

Abu Beureueh sendiri bukan sarjana teknik sipil. Karena itu, menurut Syakhwat, saat itu ada seorang insinyur dan para tukang terampil yang didatangkan khusus dari Sigli. "Kontraktor dan tukangnya semua dari Sigli," kata Syahkwat.

Sementara bahan bangunan seperti semen didatangkan dari Medan dan Banda Aceh dengan truk. Beberapa hari sekali, kenang Syahkwat kecil, dia melihat truk tersebut singgah untuk membongkar muatan. Menurut Nur El Ibrahimy yang juga menantu Daud Beureueh, proyek tersebut sepeserpun tak menggunakan dana pemerintah. Konon dana yang dihabiskan mencapai Rp 100 juta di masa itu.

Di bawah pengawasan langsung Abu Beureueh, masyarakat dan para tukang yang membangun irigasi, bekerja bergantian siang dan malam. Sedangkan untuk tempat tinggal bagi mereka yang bekerja, dibangunlah semacam rumah sementara yang terbuat dari bambu, bak gubuk-gubuk semasa Daud Beureueh masih bergerilya.

Ruhama Daud (65), anak ketujuh Daud Beureueh yang ditemui acehkita di Beureunuen, Pidie, mengakui bahwa semasa pembuatan irigasi tersebut, sang ayah sama sekali tak pernah pulang ke rumah. Abu Beureueh tinggal di lokasi irigasi tersebut bersama warga masyarakat dan para tukang yang dipimpinnya. Ruhama yang saat itu masih remaja harus datang ke sana bila ingin bertemu sang ayah.

"Waktu buat irigasi di gunung sana, Abu memang tidak pulang," katanya.

Padahal, irigasi itu dibangun dari 14 Juli sampai 18 Agustus 1963. Setelah itu, proses perampungannya membutuhkan waktu sekitar dua tahun. Menurut Ruhama hal tersebut disebabkan karena minimnya bahan-bahan bangunan yang tersedia. Hal itu juga yang diyakininya menyebabkan pondasi awal irigasi yang dibuat oleh sang ayah, tak terlalu bertahan lama. Bagian pondasi yang dibuat Abu Beureueh akhirnya memang jebol tak lama setelah digunakan. Namun setelah direnovasi, irigasi pun dapat digunakan kembali.

Kini, sudah enam tahun saluran irigasi selebar 2,5 meter dan dalam 1,5 meter itu tak lagi mampu mengairi sawah masyarakat secara optimal. Selain karena debit air yang sedikit, selurannya pun sudah banyak yang tersumbat. Dan tak ada satu lembaga pun yang mau mengelolanya. Apalagi pemerintah.

Saat acehkita menjenguknya, pertengahan Juli lalu, bagian gorong-gorong memang terlihat sedang diperbaiki. Tapi anehnya, tak seorang pun pekerja di sana. Menurut warga, pekerjaan itu sudah berlangsung lama. Namun hingga kini belum mencapai sepuluh persen dari penyelesaian. Sehingga banyak warga yang terpaksa harus main kucing-kucingan dengan warga yang lain supaya bisa lebih cepat mematok air untuk mengairi sawah masing-masing.

"Waktu zaman Abu kami tidak begini. Air banyak, tidak sampai rebutan. Kini orang-orang main patok saja ambil airnya, makanya banyak yang berkelahi karena tidak kebagian air," tutur Syahkwat menutup cerita.


Ditakuti Hingga Ajal Menjelang 


Setelah 43 tahun Daud Beureueh turun gunung, tak banyak lagi pejuang DI/TII yang bisa ditemui. Dari sedikit itu, tercatat nama seorang mantan Guru Besar IAIN Ar-Raniry, Prof Dr Baihaqi AK. Ia bukan saja pengikut setia Abu Beureueh, tetapi juga sekretaris pribadinya. Saat Beureueh dijemput dari persembunyiannya pada 9 Mei 1962, Baihaqi ikut dalam rombongan itu.


Semasa pergolakan terjadi, Baihaqi yang saat itu berusia 18 tahun, sebenarnya baru saja menyelesaikan pendidikan guru di Bandung. Pada 1954, ia diangkat menjadi pegawai negeri sipil dan bertugas sebagai guru di Banda Aceh. Simpatinya dengan perjuangan DI/TII muncul setelah melihat kebijakan pemerintah pusat. Dalam beberapa aksi protes di Banda Aceh, Baihaqi kerap terlibat.

Tak disangka, suatu malam ia ditangkap polisi dan diseret ke pengadilan. "Saya divonis 30 bulan penjara dengan tuduhan subversif," kenangnya.

Setelah bebas, tadinya Baihaqi ingin hidup tenang. Nyatanya, dia mengaku selalu diintai petugas. Karena kesal, ia memutuskan lari ke hutan, bergabung dengan pasukan Daud Beureueh. Dari semua pengikut DI/TII kala itu, Baihaqi tergolong paling muda.

Sebagai anak desa yang dibesarkan di Keunawat, Aceh Tengah, Baihaqi sangat menguasai seluk beluk hutan di Aceh Tengah, tempat pasukan DI/TII bersembunyi. Dia merasa tentram di lingkungan itu, apalagi dalam jajaran pengikut Daud Beureueh, ada Teungku Ilyas Leube, abang sepupunya.

Bersama Iyas Leube, Baihaqi ditempatkan sebagai anggota pasukan Resimen 5. Semula hanya prajurit biasa, tapi berkat kecerdasannya, ia dipercaya sebagai kepala staf. Sementara Ilyas Leube sebagai panglima.

Selama di hutan, Baihaqi banyak belajar tentang kepemimpinan Daud Beureueh. Ia kerap mengamati gerak-gerik Beureueh, mulai cara dia mandi, berpakaian, hingga shalat. "Jarang saya temukan ada pemimpin seperti Abu Beureueh," katanya.

Yang paling dikagumi Baihaqi adalah shalat Beureueh yang amat khusuk. Sebagai pemimpin, Daud Beureueh sama sekali tak pernah memegang uang. Meski demikian, ia sangat ketat mengawasi pengeluaran uang.

"Kami pernah tidur sebantal di dalam pondak setelah lelah berdiskusi," cerita mantan anggota DPR RI dari Fraksi PPP itu. Saat makan pun, Beureueh hanya menggunakan daun pisang sebagai piring. Lalu ia mengajak pengikutnya makan bersama di daun itu.


Ketika mengetahui banyak pengikutnya berdamai dengan Pemerintah Indonesia, Daud Beureueh hanya mencibir. Ia menyesali sikap anak buahnya yang dianggap berkhianat karena tertarik harta yang dijanjikan pemerintah.

Namun sikap keras Beureueh berubah juga. Baihaqi termasuk pengikut Daud Beureueh yang turun gunung paling akhir. Setelah berdamai dengan pemerintah, Baihaqi kembali ditawarkan menjadi guru. Namun ia menolak. "Saya memilih melanjutkan pendidikan S-1 di IAIN Ar-Raniry," katanya. Setelah memperoleh sarjana, Baihaqi pun diangkat sebagai dosen di kampus itu. Sampai akhirnya sukses meraih gelar profesor bidang pendidikan Islam.

Usai pemberontakan DI/TII, Baihaqi sempat diajak Hasan Tiro bergabung dalam GAM. Apalagi abang sepupunya, Ilyas Leube, ikut dalam kelompok itu. Tapi ia menolak. Baihaqi memilih berkarir di bidang politik sebagai politisi PPP dan duduk sebagai anggota DPR pada periode 1999-2004. Kini, memasuki usia 74, ayah empat anak ini menetap di sebuah rumah asri di Pamulang, Banten. Ia memiliki ruangan khusus berisi koleksi buku-buku tua. Di ruang itulah dia menghabiskan waktu.

"Saya juga tengah menulis buku tentang sejarah Aceh," ujarnya. Dalam sejarah bukunya itu, ia memaparkan banyak hal tentang Daud Beureueh. Baginya, sosok ulama Aceh itu tidak akan mungkin dilupakan. Dalam setiap shalat, Baihaqi selalu mengirim doa untuk Daud Beureueh. Selain sebagai pemimpin, baginya, Daud Beureh juga sebagai guru dan seorang ayah.


Ditakuti Hingga Ajal Menjemput

Beureunuen berjarak 124 kilometer arah timur Kota Banda Aceh. Di tempat ini, tak ada yang tak kenal Daud Beurueueh. Kini sudah 18 tahun Abu Beureueh meninggal dunia. Atas permintaannya sendiri, jasadnya pun disemayamkan di areal pekarangan masjid A’la Lil Mujahiddin, atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Masjid Abu Beureueh, yang terletak di tepi jalan Banda Aceh-Medan.

Dahulu, ketika mendengar Abu Beureueh meninggal dunia, mereka berduyun-duyun ke masjid itu untuk melihat pemakaman Daud Beureueh dan memberikan penghormatan terakhir.

Seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan kondisi di Aceh, perlahan nama besar Daud Beureueh seakan tenggelam. Bila di awal-awal wafatnya, warga datang untuk menziarahi makam hampir dari seluruh pelosok Aceh, namun kini, para penziarah hanyalah orang-orang tertentu saja. Itu pun mereka yang singgah karena waktu shalat atau yang sedang dalam perjalanan.

"Sekarang sudah lain. Dari orang, hingga cara shalat semua sudah beda. Apalagi orang muda sudah sibuk sendiri. Mana ingat lagi ke kita yang tua," sebut Azhari, 70 tahun, ulama asal Desa Tiba.

Kini, makam berukuran 3 x 1 meter yang bernisankan marmer dan berukir nama almarhum itu seakan sepi sendiri.

"Masih ada satu dua yang datang ziarah ke sini. Kemarin juga ada pejabat yang datang, tapi itu sangat jarang sekali," ucap Zulkifli (36), warga Desa Baroh Barat Yaman.

Menurut Zulkifli yang datang dari generasi baru—belum lahir saat DI/TII—Daud Beureueh adalah tokoh yang disegani dan disayangi masyarakat. Namun yang disesalkannya, perhatian pemerintah terhadap makam tokoh tersebut sangat kecil.

"Saya harap pemerintah mau lebih memperhatikan makam ini, sesuai dengan jasa beliau kepada negara," tandasnya.
Pada usia 89 tahun, Abu Beureueh menghadap sang Khalik. Tepatnya pada 10 Juni 1987 di sebuah bilik sederhana di tanah kelahirannya, Desa Beureueh, Beureuneun, Kecamatan Mutiara (sekarang Mutiara Barat), Pidie. Sebelum meninggal, kondisi kesehatannya terus menurun sejak kembali ke Aceh 1982.

Melihat kondisinya fisik yang sudah renta inilah, pemerintah Orde Baru menganggap Abu Beureueh tak mungkin lagi melanjutkan perlawanan atau mendukung Gerakan Aceh Merdeka. Sebelumnya, kendati sudah menyerah dan turun gunung, ABRI masih menganggap Beureueh sebagai tokoh yang berbahaya. Karena itu, pada 1 Mei 1978, sebuah tim yang dipimpin Sjafrie Sjamsoeddin—kini Sekjen Departemen Pertahanan—menciduk Abu Beureueh di depan istrinya, Teungku Nyak Alisah, untuk dibawa ke Jakarta.

Proses pengambilan Abu Beureueh ditingkahi dengan upaya menyuntikkan obat bius yang mendapat perlawanan dan melukai badan tuanya. Menurut menantu Abu Beureueh, M Nur El Ibrahimy, tindakan pemerintah tersebut dianggap berlebihan.

Selama di Jakarta, Abu Beureueh tinggal di sebuah rumah kontrakan atas biaya pemerintah. Namun menurut El Ibrahimy, hal tersebut membuat Abu Beureueh seperti tahanan rumah. "Seperti di sangkar emas. Mata lepas, badan terkurung," kata El Ibrahimy.

Sejak 1980, sudah dua kali Abu Beureueh mengirim surat permohonan kepada Presiden Soeharto agar diperbolehkan kembali ke Aceh. Itu belum termasuk surat kepada Pangkopkamtib, Sudomo. "Setelah keadaan badan yang semakin uzur, sehingga harus dipapah, dan mata yang hampir tidak bisa melihat, Daud Beureueh diizinkan pulang ke Aceh," sesal El Ibrahimy.

Menurut Panglima Kodam Iskandar Muda saat itu, Brigjen Abdurrahman, sesampainya di Aceh pun, Abu Beureueh masih berada di bawah pengawasan Laksusda Aceh. Para intel itu, misalnya, ditempatkan di Beureunuen dan membaur di antara jamaah shalat Jumat. Abu Beureueh pun tak dapat pergi sekehendak hatinya, kecuali dengan seizin atau sepengetahuan petugas Laksusda.

"Ini semua dilakukan, kabarnya untuk menjaga ketentraman dan ketertiban yang telah mantap di daerah Aceh," tandas El Ibrahimy setengah menyindir.

Terbukti, upaya itu tak manjur. Aceh bukannya tambah tenteram. Justru Abu Beureueh lah yang kini menikmati ketentraman di bawah rindangnya pohon mangga. 

Warisan Daud Beureueh yang Terlantar

Sudah banyak orang bercerita tentang daya magis kepemimpinan Daud Beureueh. Tokoh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) itu tak hanya dikenal sepak terjangnya memimpin perang gerilya dan berpidato menyihir massa, tetapi juga tak segan-segan mengayun cangkul dan bergelimang lumpur bersama rakyatnya. 

Salah satu kisah yang abadi adalah apa yang terjadi di Desa Paya Raof, Pidie, 14 Juli 1963. Saat itu, Daud Beureueh yang sudah turun gunung, memimpin kerja bakti yang melibatkan 2.000 orang untuk membuat saluran irigasi. Rakyat yang kecewa karena bupati setempat tak kunjung menyelesaikan masalah pengairan sawah, mendatangi Daud Beureueh. Di tangan ulama itu, masalah pun terpecahkan.

Desa Paya Raof terletak 10 kilometer dari tepi jalan lintas Banda Aceh - Medan. Saat acehkita menelusuri kembali saluran irigasi sepanjang 17 kilometer itu, banyak orang tak lagi mengenalnya. Ditambah lagi letaknya yang memang jauh, yakni di bawah kaki gunung Cot Kuta. Apalagi kondisi keamanan yang tak menentu, cukup sudah alasan bagi orang untuk semakin melupakannya.

Satu-satunya cara mengembalikan ingatan warga Pidie akan Desa Paya Raof, Kecamatan Teupin Raya, adalah saluran irigasi tua yang dibangun Teungku Daud Beureueh. Irigasi yang dikelilingi bukit dan hutan itu kini dalam kondisi tak berfungsi dengan baik. Menurut petani setempat, air yang mengalir pun tak lagi sebanyak dulu.

Dulu, saluran irigasi itu bisa mengairi sawah di tujuh desa seperti Tunong, Baroh, Amud, Amud Masjid, Tanah Mirah, Geumuroh, dan Teupin Raya. Tak heran, sebab kondisinya selalu dipelihara dan telah beberapa kali mengalami sentuhan renovasi. Ada empat orang tokoh setempat yang menyokong ayunan cangkul Daud Beureueh. Mereka adalah Teungku Raof, Imuem Leman, Alamsyah, dan Cut Ka Oy.

Saluran irigasi itu bermula dari sepetak dam air yang terbuat dari tanah. Saat Daud Beureueh hendak membedahnya menjadi saluran air, tanpa dipaksa warga masyarakat datang berbondong-bondong membantu. Dari orang tua hingga yang muda, semua tumpah ruah di lokasi tersebut. Bahkan, tak jarang Daud Beureueh terpaksa mengusir pulang anak-anak yang terlalu muda usia untuk bekerja.

"Waktu itu saya tidak dikasih ikut gotong royong oleh Abu karena usia saya masih muda. Saya diusir dengan dipukul pakai tongkatnya," kenang Syakhwat sambil tersenyum. Kini usianya sudah 58 tahun. Dia adalah warga Desa Cot Tunong, Geulumpang Tiga, Pidie.

Abu Beureueh sendiri bukan sarjana teknik sipil. Karena itu, menurut Syakhwat, saat itu ada seorang insinyur dan para tukang terampil yang didatangkan khusus dari Sigli. "Kontraktor dan tukangnya semua dari Sigli," kata Syahkwat.

Sementara bahan bangunan seperti semen didatangkan dari Medan dan Banda Aceh dengan truk. Beberapa hari sekali, kenang Syahkwat kecil, dia melihat truk tersebut singgah untuk membongkar muatan. Menurut Nur El Ibrahimy yang juga menantu Daud Beureueh, proyek tersebut sepeserpun tak menggunakan dana pemerintah. Konon dana yang dihabiskan mencapai Rp 100 juta di masa itu.

Di bawah pengawasan langsung Abu Beureueh, masyarakat dan para tukang yang membangun irigasi, bekerja bergantian siang dan malam. Sedangkan untuk tempat tinggal bagi mereka yang bekerja, dibangunlah semacam rumah sementara yang terbuat dari bambu, bak gubuk-gubuk semasa Daud Beureueh masih bergerilya.

Ruhama Daud (65), anak ketujuh Daud Beureueh yang ditemui acehkita di Beureunuen, Pidie, mengakui bahwa semasa pembuatan irigasi tersebut, sang ayah sama sekali tak pernah pulang ke rumah. Abu Beureueh tinggal di lokasi irigasi tersebut bersama warga masyarakat dan para tukang yang dipimpinnya. Ruhama yang saat itu masih remaja harus datang ke sana bila ingin bertemu sang ayah.

"Waktu buat irigasi di gunung sana, Abu memang tidak pulang," katanya.

Padahal, irigasi itu dibangun dari 14 Juli sampai 18 Agustus 1963. Setelah itu, proses perampungannya membutuhkan waktu sekitar dua tahun. Menurut Ruhama hal tersebut disebabkan karena minimnya bahan-bahan bangunan yang tersedia. Hal itu juga yang diyakininya menyebabkan pondasi awal irigasi yang dibuat oleh sang ayah, tak terlalu bertahan lama. Bagian pondasi yang dibuat Abu Beureueh akhirnya memang jebol tak lama setelah digunakan. Namun setelah direnovasi, irigasi pun dapat digunakan kembali.

Kini, sudah enam tahun saluran irigasi selebar 2,5 meter dan dalam 1,5 meter itu tak lagi mampu mengairi sawah masyarakat secara optimal. Selain karena debit air yang sedikit, selurannya pun sudah banyak yang tersumbat. Dan tak ada satu lembaga pun yang mau mengelolanya. Apalagi pemerintah.

Saat acehkita menjenguknya, pertengahan Juli lalu, bagian gorong-gorong memang terlihat sedang diperbaiki. Tapi anehnya, tak seorang pun pekerja di sana. Menurut warga, pekerjaan itu sudah berlangsung lama. Namun hingga kini belum mencapai sepuluh persen dari penyelesaian. Sehingga banyak warga yang terpaksa harus main kucing-kucingan dengan warga yang lain supaya bisa lebih cepat mematok air untuk mengairi sawah masing-masing.

"Waktu zaman Abu kami tidak begini. Air banyak, tidak sampai rebutan. Kini orang-orang main patok saja ambil airnya, makanya banyak yang berkelahi karena tidak kebagian air," tutur Syahkwat menutup cerita.


Ditakuti Hingga Ajal Menjelang 


Setelah 43 tahun Daud Beureueh turun gunung, tak banyak lagi pejuang DI/TII yang bisa ditemui. Dari sedikit itu, tercatat nama seorang mantan Guru Besar IAIN Ar-Raniry, Prof Dr Baihaqi AK. Ia bukan saja pengikut setia Abu Beureueh, tetapi juga sekretaris pribadinya. Saat Beureueh dijemput dari persembunyiannya pada 9 Mei 1962, Baihaqi ikut dalam rombongan itu.


Semasa pergolakan terjadi, Baihaqi yang saat itu berusia 18 tahun, sebenarnya baru saja menyelesaikan pendidikan guru di Bandung. Pada 1954, ia diangkat menjadi pegawai negeri sipil dan bertugas sebagai guru di Banda Aceh. Simpatinya dengan perjuangan DI/TII muncul setelah melihat kebijakan pemerintah pusat. Dalam beberapa aksi protes di Banda Aceh, Baihaqi kerap terlibat.

Tak disangka, suatu malam ia ditangkap polisi dan diseret ke pengadilan. "Saya divonis 30 bulan penjara dengan tuduhan subversif," kenangnya.

Setelah bebas, tadinya Baihaqi ingin hidup tenang. Nyatanya, dia mengaku selalu diintai petugas. Karena kesal, ia memutuskan lari ke hutan, bergabung dengan pasukan Daud Beureueh. Dari semua pengikut DI/TII kala itu, Baihaqi tergolong paling muda.

Sebagai anak desa yang dibesarkan di Keunawat, Aceh Tengah, Baihaqi sangat menguasai seluk beluk hutan di Aceh Tengah, tempat pasukan DI/TII bersembunyi. Dia merasa tentram di lingkungan itu, apalagi dalam jajaran pengikut Daud Beureueh, ada Teungku Ilyas Leube, abang sepupunya.

Bersama Iyas Leube, Baihaqi ditempatkan sebagai anggota pasukan Resimen 5. Semula hanya prajurit biasa, tapi berkat kecerdasannya, ia dipercaya sebagai kepala staf. Sementara Ilyas Leube sebagai panglima.

Selama di hutan, Baihaqi banyak belajar tentang kepemimpinan Daud Beureueh. Ia kerap mengamati gerak-gerik Beureueh, mulai cara dia mandi, berpakaian, hingga shalat. "Jarang saya temukan ada pemimpin seperti Abu Beureueh," katanya.

Yang paling dikagumi Baihaqi adalah shalat Beureueh yang amat khusuk. Sebagai pemimpin, Daud Beureueh sama sekali tak pernah memegang uang. Meski demikian, ia sangat ketat mengawasi pengeluaran uang.

"Kami pernah tidur sebantal di dalam pondak setelah lelah berdiskusi," cerita mantan anggota DPR RI dari Fraksi PPP itu. Saat makan pun, Beureueh hanya menggunakan daun pisang sebagai piring. Lalu ia mengajak pengikutnya makan bersama di daun itu.


Ketika mengetahui banyak pengikutnya berdamai dengan Pemerintah Indonesia, Daud Beureueh hanya mencibir. Ia menyesali sikap anak buahnya yang dianggap berkhianat karena tertarik harta yang dijanjikan pemerintah.

Namun sikap keras Beureueh berubah juga. Baihaqi termasuk pengikut Daud Beureueh yang turun gunung paling akhir. Setelah berdamai dengan pemerintah, Baihaqi kembali ditawarkan menjadi guru. Namun ia menolak. "Saya memilih melanjutkan pendidikan S-1 di IAIN Ar-Raniry," katanya. Setelah memperoleh sarjana, Baihaqi pun diangkat sebagai dosen di kampus itu. Sampai akhirnya sukses meraih gelar profesor bidang pendidikan Islam.

Usai pemberontakan DI/TII, Baihaqi sempat diajak Hasan Tiro bergabung dalam GAM. Apalagi abang sepupunya, Ilyas Leube, ikut dalam kelompok itu. Tapi ia menolak. Baihaqi memilih berkarir di bidang politik sebagai politisi PPP dan duduk sebagai anggota DPR pada periode 1999-2004. Kini, memasuki usia 74, ayah empat anak ini menetap di sebuah rumah asri di Pamulang, Banten. Ia memiliki ruangan khusus berisi koleksi buku-buku tua. Di ruang itulah dia menghabiskan waktu.

"Saya juga tengah menulis buku tentang sejarah Aceh," ujarnya. Dalam sejarah bukunya itu, ia memaparkan banyak hal tentang Daud Beureueh. Baginya, sosok ulama Aceh itu tidak akan mungkin dilupakan. Dalam setiap shalat, Baihaqi selalu mengirim doa untuk Daud Beureueh. Selain sebagai pemimpin, baginya, Daud Beureh juga sebagai guru dan seorang ayah.


Ditakuti Hingga Ajal Menjemput

Beureunuen berjarak 124 kilometer arah timur Kota Banda Aceh. Di tempat ini, tak ada yang tak kenal Daud Beurueueh. Kini sudah 18 tahun Abu Beureueh meninggal dunia. Atas permintaannya sendiri, jasadnya pun disemayamkan di areal pekarangan masjid A’la Lil Mujahiddin, atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Masjid Abu Beureueh, yang terletak di tepi jalan Banda Aceh-Medan.

Dahulu, ketika mendengar Abu Beureueh meninggal dunia, mereka berduyun-duyun ke masjid itu untuk melihat pemakaman Daud Beureueh dan memberikan penghormatan terakhir.

Seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan kondisi di Aceh, perlahan nama besar Daud Beureueh seakan tenggelam. Bila di awal-awal wafatnya, warga datang untuk menziarahi makam hampir dari seluruh pelosok Aceh, namun kini, para penziarah hanyalah orang-orang tertentu saja. Itu pun mereka yang singgah karena waktu shalat atau yang sedang dalam perjalanan.

"Sekarang sudah lain. Dari orang, hingga cara shalat semua sudah beda. Apalagi orang muda sudah sibuk sendiri. Mana ingat lagi ke kita yang tua," sebut Azhari, 70 tahun, ulama asal Desa Tiba.

Kini, makam berukuran 3 x 1 meter yang bernisankan marmer dan berukir nama almarhum itu seakan sepi sendiri.

"Masih ada satu dua yang datang ziarah ke sini. Kemarin juga ada pejabat yang datang, tapi itu sangat jarang sekali," ucap Zulkifli (36), warga Desa Baroh Barat Yaman.

Menurut Zulkifli yang datang dari generasi baru—belum lahir saat DI/TII—Daud Beureueh adalah tokoh yang disegani dan disayangi masyarakat. Namun yang disesalkannya, perhatian pemerintah terhadap makam tokoh tersebut sangat kecil.

"Saya harap pemerintah mau lebih memperhatikan makam ini, sesuai dengan jasa beliau kepada negara," tandasnya.
Pada usia 89 tahun, Abu Beureueh menghadap sang Khalik. Tepatnya pada 10 Juni 1987 di sebuah bilik sederhana di tanah kelahirannya, Desa Beureueh, Beureuneun, Kecamatan Mutiara (sekarang Mutiara Barat), Pidie. Sebelum meninggal, kondisi kesehatannya terus menurun sejak kembali ke Aceh 1982.

Melihat kondisinya fisik yang sudah renta inilah, pemerintah Orde Baru menganggap Abu Beureueh tak mungkin lagi melanjutkan perlawanan atau mendukung Gerakan Aceh Merdeka. Sebelumnya, kendati sudah menyerah dan turun gunung, ABRI masih menganggap Beureueh sebagai tokoh yang berbahaya. Karena itu, pada 1 Mei 1978, sebuah tim yang dipimpin Sjafrie Sjamsoeddin—kini Sekjen Departemen Pertahanan—menciduk Abu Beureueh di depan istrinya, Teungku Nyak Alisah, untuk dibawa ke Jakarta.

Proses pengambilan Abu Beureueh ditingkahi dengan upaya menyuntikkan obat bius yang mendapat perlawanan dan melukai badan tuanya. Menurut menantu Abu Beureueh, M Nur El Ibrahimy, tindakan pemerintah tersebut dianggap berlebihan.

Selama di Jakarta, Abu Beureueh tinggal di sebuah rumah kontrakan atas biaya pemerintah. Namun menurut El Ibrahimy, hal tersebut membuat Abu Beureueh seperti tahanan rumah. "Seperti di sangkar emas. Mata lepas, badan terkurung," kata El Ibrahimy.

Sejak 1980, sudah dua kali Abu Beureueh mengirim surat permohonan kepada Presiden Soeharto agar diperbolehkan kembali ke Aceh. Itu belum termasuk surat kepada Pangkopkamtib, Sudomo. "Setelah keadaan badan yang semakin uzur, sehingga harus dipapah, dan mata yang hampir tidak bisa melihat, Daud Beureueh diizinkan pulang ke Aceh," sesal El Ibrahimy.

Menurut Panglima Kodam Iskandar Muda saat itu, Brigjen Abdurrahman, sesampainya di Aceh pun, Abu Beureueh masih berada di bawah pengawasan Laksusda Aceh. Para intel itu, misalnya, ditempatkan di Beureunuen dan membaur di antara jamaah shalat Jumat. Abu Beureueh pun tak dapat pergi sekehendak hatinya, kecuali dengan seizin atau sepengetahuan petugas Laksusda.

"Ini semua dilakukan, kabarnya untuk menjaga ketentraman dan ketertiban yang telah mantap di daerah Aceh," tandas El Ibrahimy setengah menyindir.

Terbukti, upaya itu tak manjur. Aceh bukannya tambah tenteram. Justru Abu Beureueh lah yang kini menikmati ketentraman di bawah rindangnya pohon mangga. 

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN TEUNGKU MUHAMMAD ALI IRSYAD //



A.    Latar Belakang Internal
1.      Latar Belakang Keluarga
Teungku Muhammad Ali Irsyad dilahirkan pada tahun 1921 M di Desa Kayee Jatoe pemukiman Teupin Raya, Kecamatan Glumpang Tiga Kabupaten Pidie. Beliau dilahirkan dari orang tua laki-laki yang bernama Muhammad Irsyad, sedangkan ibunya bernama Aisyah, keluarga dari turunan bapaknya adalah keturunan dari Panglima Doyen dari Aceh Besar. Sedangkan dari keluarga ibunya berasal dari keluarga ulama dari Lapang Lhoksukon yang hijrah ke Teupin Raya, maka dari darah pasangan kedua orang tuanya, mengalir darah bangsawan dan darah ‘ulama.[1]
Selama hidup, Teungku Muhammad Ali Irsyad memiliki tiga orang isteri. Isteri pertamanya Hj. Aminah (Teupin Raya). Dari isteri pertama ini, mereka dikaruniakan lima orang anak yaitu: Teungku Armia, Teungku Syakya,              Hj. Fatimah, Zakaria dan Yahya. Isteri keduanya ialah Hj. Fatimah (Trieng Gadeng-Puduek), dengan isteri kedua beliau dikaruniakan tiga orang anak yaitu Marhamah, Muhammad dan Helmi. Sedangkan isteri yang ketiga adalah            Hj. Fatimah (Peradeue Panteraja), dari isteri yang ketiga ini beliau dikarunia seorang anak yaitu Muazzinah.[2]
2.      Latar Belakang Pendidikan
Beliau sejak kecil dididik langsung oleh orang tuanya Teungku Irsyad dalam bidang pendidikan agama dengan ketat, kemudian mengingat karena orang tuanya sebagai qadhi, salah seorang Ulee Balang Glumpang Payong pada masa Belanda, maka sudah barang tentu beliau dari lingkungan bangsawan beliau mendapat kesempatan untuk memperoleh kesempatan pendidikan umum.
Karena itu pada beliau mengalir dua pendidikan yaitu pendidikan agama yang dibimbing langsung oleh orang tuanya, kemudian pendidikan umum  yang mendapat fasilitas dari jabatan orang tuanya sebagai qadhi Ulee Balang. Mengingat kedua hal tersebut, beliau mempertimbangkan kalau di rumah beliau harus mengetahui pelajaran agama dan keesokan harinya di sekolah harus berhadapan dengan guru-guru dari Belanda, maka timbullah goncangan jiwa dalam hati beliau, sehingga beliau memutuskan untuk mencari ilmu agama.
Tempat yang pertama sekali Teungku Muhammad Ali Irsyad kunjungi dalam mencari ilmu agama adalah Uteuen Bayu Ulee Glee, disana ada seorang ulama yang bernama Teungku Abdurrahman.
Pada tahun 1947 Teungku Muhammad Ali Irsyad melanjutkan pendidikannya, karena telah mendapat izin dari gurunya. Dari sana beliau melanjutkan pendidikannya ke Pulo Kiton, selanjutnya menuju Gandapura, di Gandapura beliau mempelajari ilmu falak pada salah seorang ulama yang baru pulang dari Makkah, yang telah mempelajari ilmu falak beberapa tahun lamanya. Ilmu tersebut sangat menarik perhatian Teungku Muhamad Ali Irsyad. Sekitar dua tahun beliau belajar ilmu falak pada Teungku Usman Maqam.
Pada tahun 1961, Teungku Muhammad Ali Irsyad berangkat ke Mesir. Bertolak dari Aceh menuju Jakarta, atas kesempatan yang diberikan oleh menteri agama, pada waktu itu dijabat oleh Wahid Hasyim (Bapaknya Gusdur). Beliau diterima di Dirasah Khassah yang khusus menuntut ilmu falak.
Yang mengajar ilmu falak di sana adalah seorang ulama yang sudah tua bernama Syeikh Ulaa Al-Banna. Beliau merasa heran karena selama hidupnya, dan selama mengajar menjadi guru dalam ilmu falaki as-syar’i di al-Azhar belum pernah ada seorangpun yang belajar kepada beliau yang mempunyai kemampuan yang luar biasa seperti  muridnya ini (Teungku Muhammad Ali Irsyad).
Pada tahun 1966 beliau menyelesaikan pendidikan di al-Azhar dalam bidang ilmu falaki syar’i. Kemudian oleh pemimpin yang membidangi jurusan ilmu falak tersebut, memberi ijazah kepada beliau yang berkemampuan dalam ilmu dibidang hisab, ilmu hisab falaki dengan berbagai macam cara. Kemudian ilmu yang dapat mengeluarkan tentang tarikh-tarikh (pertanggalan), mengatur jadwal shalat seluruh negara, jatuh dari awal bulan qamariah atau bulan yang disyaratkan kepada ru’yatul hilal. Perjajaran bintang dan dapat mengetahui jauh bintang di manapun berada, terjadinya gerhana matahari dan bulan, penentuan arah kiblat dimanapun dan pejajaran ilmu syariah yang bersangkutan dengan ilmufalak. [3]
3.      Karya-karya yang dihasilkan
Teungku Muhammad Ali Irsyad termasuk diantara ulama yang kreatif dalam mengembangkan dakwah ilmiah di Aceh. Baik itu melalui jalur pendidikan maupun penulisan, ia telah melahirkan sejumlah karya tulis yang dapat dijadikan pegangan dalam menjalankan syariat Islam. Berdasarkan data yang diperoleh di Dayah Darussa’adah. Sampai akhir hayatnya Teungku Muhammad Ali Irsyad telah merampungkan sebanyak 28 karya tulis dalam beberapa bidara ilmu, baik dalam bahasa Aceh, bahasa Gayo, maupun bahasa Arab.
Karya-karya yang dikarang oleh Teungku Muhammad Ali Irsyad diantaranya Awaluddin Ma’rifatullah (tauhid), Al-Qaidah (nahwu), Taqwimu     Al-Hijri (ilmu falak) dan Ad-Da’watul wahabiyah (gerakan dakwah wahabi).[4]
4.      Karir yang dicapai
Perhatian yang mendalam dan sikap keingintahuan yang tinggi yang dimilikinya membuat ia berada setingkat lebih tinggi dari kemampuann rata-rata yang dimiliki kawan-kawan seperjuangannya. Gurunya Teungku Abdul Madjid telah mengangkatnya menjadi asisten atau teungku rangkang ketika berada di Uteuen Bayu, Ulee Glee-Pidie.
Selanjutnyam ketika Teungku Muhammad Ali Irsyad berada di Gandapura (Geurugok), disamping belajar, beliau juga mengajar. Di sana beliau mengarang kitab ilmu  nahwu dan sharaf. Beliau mempunyai satu ide yaitu untuk menghilangkan imej yang terjadi pada waktu itu bahwa orang yang belajar nahwu itu akan gila, jadi dalam istilah orang aceh "Pungoe Nahwu". Padahal bukan gilanya tetapi sistem belajar ilmu nahwu yang sudah diterapkan pada pertama sangat sulit dicerna oleh murid-murid yang hukan berasal dari Arab.
Pada saat beliau berada di Mesir, dengan mengambil konsentari ilmu falak, menambah sebutan di depan namanya dengan gelar Al-Falaqy yaitu sebuah gelar yang menunjukkan keahlian dalam ilmu falak.
Kemahiran dan keahliannya dalam ilmu ini membuat ia dikenal tidak saja di dalam negeri khususnya di Aceh, akan tetapi juga di almamaternya Cairo. Bahkan ia telah menyusun sebuah kalender sepanjang masa sebagai pedoman dalam menentukan waktu shalat dan berbuka puasa serta waktu imsaknya. [5]

B.     Latar Belakang Eksternal
1.      Kondisi Sosial Polotik
 Teungku Muhammad Ali Irsyad (Abu Teupin Raya) lahir pada tahun 1921 M, pada saat itu Aceh berperang dengan Belanda dimana masyarakat Aceh dalam situasi peperangan antara putra-putra Aceh dengan serdadu-serdadu belanda untuk mewujudkan perjuangan membela kemerdekaan.
Upaya Belanda untuk meluaskan agresi mereka terhadap Aceh terhambat total selama 20 tahun. Selama itu kesultanan Aceh terus bertahan di ibu kota Keumala, dimata Belanda Ibukota tersebut merupakan pusat perjuangan Aceh dilihat secara menyeluruh. Tidak hanya karena letaknya strategis melainkan terutama karena Ibukota Keumala dengan selancar mungkin terus melaksanakan peranannya sebagai pusat koordinasi perjuangan Aceh, termasuk di bidang politik dan ekonomi.
Tidak mengherankan bila belanda mengutuskan untuk menyerang Keumala secara habis-habisan. Setelah dipertahankan sepuas mungkin, akhirnya pihak pejuang terpaksa memutuskan melepas kota tersebut. Dan memindahkan pusat kerajaan Keuribee. Dari Ribee ke kampung Padang Gaham (Padang Tiji). Selanjutnya ke Samalanga. Seperti telah diketahui, benteng Batee Ilie yang terletak di bukit luar Samalanga, yang telah tiga kali dicoba direbut oleh Van derhaijend dan pasukannya masih tetap dikuasai oleh para pejuang Aceh.
Dalam memenuhi tekat mereka untuk mematahkan perlawanan Aceh. Belanda mengangkat Jenderal Van Heutstz sebagai Gubernur yang berkedudukan di Kota Raja. Van Heutstz menetapkan sasaran utama adalah memerangi Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem. Van Heutstz berhasil memaksa Sultan  memindahkan markasnya dari Samalanga ke Peudada dan berikutnya ke Peusangan, lalu ke tanah Gayo dan akhirnya Sultan kembali lagi ke Pidie. Belanda juga tidak mampu mematahkan perlawanan Sultan di Hulu Beuracan.
Akan tetapi Sultan dan Panglima Polem akhirnya menyerahkan diri karena pihak Belanda menggunakan politik kotor untuk menangkap Sultan dan Panglima Polem. Belanda mengira dengan menyerahnya Sultan dan Panglima Polem akan mengendorkan perjuangan rakyat Aceh, tetapi rakyat Aceh semakin menghebat terus perjuangannya.
Ini terlihat di Pidie sendiri setelah Sultan dan Panglima Polem menyerah serta kaum bangsawan lainnya menyerah, babak perjuangan dilanjutkan oleh kaum ulama. Ini tercatat ulama Pidie yang melanjutkan perjuangan melawan Belanda antara lain: Teungku Cot Diplieng, Teungku di Tanoh Meurah, Teungku Lam Gut dan Habib Teupin Wan.[6]
2.      Kondisi Intelektual
Sesudah Sultan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem Menyerah Belanda mengira perlawanan rakyat Aceh akan kendur. Namun perkiraan Belanda salah, perlawanan mereka dilanjutkan oleh para ulama (mujahidin). Sebetulnya kaum Aceh sendiri sudah memegang peranan pokok dalam menentang agresi belanda sejak tahun 1873.
Pergantian perjuangan yang komandai oleh para ulama yang berbasis di ayah, membuat Belanda menyuruh menutup seluruh dayah. Maka hilang pula lembaga pendidikan di Aceh pada saat itu, yang ada hanya lembaga pendidikan orang Belanda.
Sesudah dayah di tutup dan pendidikan lumpuh pada saat itu orang Aceh memikirkan cara untuk mengembalikan sarana pendidikan. Maka mengingat tersebut para petinggi Aceh pada saat itu, mengirim surat lepada pemimpin perang gerilya. Dalam surat itu ditekankan supaya disamping terus melanjutkan pemerangan, agar mereka juga berpikir tentang pembangunan kembali aktivitas pendidikan yang telah lama hancur akibat peperangan.
Menyambut surat tersebut para ulama pejuang bermusyawarah dan menghasilkan keputusan sebagai berikut:
1.      Sejumlah ulama dan pemimpin lainnya meneruskan perjuangan gerilya untuk menghadapi penjajah belanda.
2.      Sebagian ulama lainnya diperbolehkan melapor kepada penguasa belanda dengan maksud membangun kembali lembaga-lembaga pendidikan sebagai langkah yang mendasar dalam perjuangan polotik dalam rangka mencapai kemerdekaan kembali.
Berdasarkan keputusan tersebut sebagian ulama meninggalkan perang gerilya dan berkiprah kembali dalam dunia pendidikan. Dan di Aceh juga pada saat itu penjajah belanda sudah mendirikan lembaga-lembaga pendidikannya yang tujuannya untuk menetralisir pengaruh pendidikan sekolah-sekolah agama Islam. Karena yang mendirikan sekolah tersebut penjajah Belanda yang bukan orang Islam, maka pendidikannya bersifat sekuler yang jauh dari pelajaran agama, bahkan Van Dealen menyebutkan sekolah yang mereka dirikan sifatnya adalah “bebas dari ajaran Al-Qur’an”.[7]
3.      Tokoh yang Mempengaruhinya
Tokoh yang pertama sekali yang mempengaruhinya Teungku Muhammad Ali Irsyad adalah ayahnya sendiri Teungku Irsyad. Sehingga ia semenjak kecil menjadi taat beragama dan rajin beribadah dan cinta ilmu pengetahuan, lalu Teungku Abdul Madjid bin Abdurrahman di Desa Uteuen Bayu UIee Glee-Pidie. Di dayah ini ia mempelajari berbagai disiplin ilmu keislaman seperti ilmu tauhid (teologi), fiqh, tafsir, hadits, ilmu bahasa, mantiq dab tashawuf, khususnya dalam mazhab syafi’i.
Teungku H. Usman Maqam yang mengajari beliau ilmu falak ketika berada di Gandapura dan Syeikh Abdul Ulaa Al Banna, yang mengajari beliau ilmu falak ketika beliau menuntut ilmu di Mesir.[8]

C.    Metode (Corak) Berfikir Teungku Muhammad Ali Irsyad
Pendirian dayah Darussa’adah didasarkan pada cita-cita Al-Qur’an dan Hadits dengan berpegang pada i’tiqad ahlussunnah wal jama’ah dengan prinsipmura’atul adh-dhamir (prinsip mempersatukan ummat dalam ikatan yang hakiki, bukan pada ikatan suku, ras dan golongan tertentu). Dalam hal aliran pemikiran ilmu Fiqh Teungku Muhammad Ali Irsyad menganut mazhab Syafi’i, akan tetapi sangat menghormati dan menjunjung tinggi serta berpegang pada mazhab arba’ah(empat mazhab yang masyhur). Sedangkan dalam ilmu tauhid Teungku Muhammad Ali Irsyad berpegang pada paham Asyi’ariah. Semenjak itu Darussa’adah terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat signifikan dalam membangun dakwah islamiyah sehingga sangat berpengaruh di tengah-tengah masyarakat.
Dari jajaran ulama ia sangat diperhitungkan karena pikirannya yang moderat, ini terlihat disamping mengembangkan dayah tradisional, ia juga membuat suatu terebosan baru dengan membuka sekolah umum, yaitu Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama (SMP) Darussa’adah pada tahun 1984 dan Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA/SMU) pada tahun 1986. Kedua jenis sekolah ini dibuka di kampus Darussa’adah pusat Teupin Raya. Semua fasilitas yang tersedia berupa ruang belajar, kantor dewan guru, ATK, lapangan olahraga dan berbagai fasilitas lain dipergunakan secara bersama-sama baik untuk kepentingan sekolah maupun kepentingan dayah.
Upaya ini dilakukan untuk menjawab persoalan dualisme pendidikan yang berkembang di dalam mesyarakat, terutama menyangkut pendidikan agama dan sekolah.  Ia juga bersikap terbuka untuk menerima siswa sekolah, khususnya   laki-laki untuk tinggal di dayah Darussa’adah, baik pusat, cabang maupun asjadi (ranting) yang tersebar di seluruh Aceh. Untuk mengecap pendidikan secara komprehensif baik sekolah maupun di dayah.